Liburan ke Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat, rasanya kurang afdal kalau belum melihat kemegahan Jam Gadang. Menara jam ikonik ini menjadi salah satu tempat wisata favorit bagi wisatawan.Selain menjadi ikon wisata Bukittinggi, ternyata menara jam bersejarah itu menyimpan sejumlah fakta menarik yang mungkin tidak diketahui wisatawan.
Dilansir berbagai sumber, berikut kumparan rangkum deretan fakta menarik Jam Gadang. Sebagai destinasi wisata, Bukittinggi menawarkan keindahan alam dengan liukan perbukitan hijau hingga pegunungan megah. Tak heran di masa lalu kota ini keindahannya disetarakan dengan Paris dan dijuluki Parijs Van Sumatera.
Namun, kota ini tak hanya menyimpan lanskap yang menawan. Bukittinggi juga memegang peranan penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia dan sempat menjadi ibu kota sementara setelah Belanda menduduki ibu kota Yogyakarta dalam Agresi Milter tahun 1948.
Tentu saja berkunjung ke Bukittinggi tak lengkap tanpa mampir ke Jam Gadang. Menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi ini memiliki jam berukuran besar di empat sisinya, yang berperan sebagai penanda kota serta objek wisata.
Nama gadang sendiri dalam bahasa Minangkabau berarti besar. Hal ini selaras dengan bentuknya yang memang berupa menara besar setinggi 25 meter.
1. Pemberian Ratu Belanda
Mengutip laman bukittinggikota.go.id, Jam Gadang merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleurFort de Kock (sekarang Kota Bukit Tinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Selesai dibangun pada tahun 1926, Jam Gadang sendiri dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, seorang saudagar Minangkabau pada masa Hindia Belanda. Sedangkan peletakkan batu pertama dilakukan oleh putra Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
2. Salah Satu Ikon Kota Bukit Tinggi
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan diresmikan, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang.
Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi. Jam Gadang juga menjadi salah satu ikon Kota Bukit Tinggi dan menjadi spot favorit bagi wisatawan.
3. Menara Jam Gadang Pernah Beberapa Kali Mengalami Perubahan
Sejak didirikan, Jam Gadang telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Salah satu keunikan Jam Gadang Bukittinggi yang menjadi perbincangan terletak di angka empatnya. Berbeda dengan angka IV dalam aksara Romawi, nomor 4 di Jam Gadang Bukit Tinggi ditulis dengan IIII.
Masyarakat sekitar percaya kalau angka IIII itu dibuat demikian untuk mengenang empat orang pekerja yang meninggal karena kecelakaan kerja.
Selain cerita tersebut, ada juga yang menyatakan bahwa angka IV diartikan sebagai “I Victory” yang artinya aku menang. Untuk menghindari arti “aku menang” karena dikhawatirkan memicu pemberontakan untuk menentang penjajah, penulisan angka 4 ditulis sebagai IIII.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun Kota Bukit Tinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.
4. Penulisan Angka 4
Namun, beberapa ahli menyatakan bahwa angka 4 dalam huruf romawi awalnya memang tertulis IIII. Hal ini terjadi jauh sebelum pemerintahan Louis XIV.
Penulisan angka empat dengan “IV” juga dikatakan sebagai perubahan penulisan angka romawi yang awalnya IIII. Sampai saat ini, pendapat mana yang paling benar masih menjadi teka-teki.
5. Disebut-sebut Sebagai Kembaran Big Ben
Terakhir, menara jam yang berumur lebih dari 100 tahun ini kerap disamakan dengan Big Ben yang berada di London. Keduanya disandingkan lantaran sama-sama menjadi landmark dari masing-masing kota.
Apalagi Big Ben dan Jam Gadang semakin disamakan, karena sama-sama menggunakan mesin untuk penggerak yang hanya diproduksi dua buah saja di dunia. Kedua mesin itu tentunya digunakan oleh Big Ben dan Jam Gadang.
Meski memiliki bentuk yang serupa (segiempat), namun menara Big Ben di London dan Jam Gadang jelas berbeda.
Jam Gadang dibuat bergaya modern dengan menara berbentuk rumah adat Minangkabau setinggi 26 meter. Sedangkan Big Ben didesain bergaya Gothik Victoria dengan bagian puncak menara runcing dan tinggi mencapai 96 meter.
Bila ingin berkunjung ke sini, datanglah saat pagi atau sore hari ketika cuaca tak terlalu terik. Sembari bersantai, kamu bisa sekalian mencicipi makanan khas Minangkabau yang dijajakan oleh para pedagang di sekitar Jam Gadang. Jangan lupa membawa kamera karena banyak spot menarik untuk berfoto di tempat ini.
Komentar
Posting Komentar